Moses Sihombing menunjukan konsistensi dan komitmen yang tinggi terhadap dunia fotografi dan video terkait industri musik. Kekuatannya tak terbatas pada teknis pendokumentasian semata, tetapi pada narasi dari tiap-tiap visual yang diciptakan. Tak peduli apakah itu proyek kolaborasi, foto komersial, portrait, artwork musik, festival besar, atau bermain di ranah foto eksperimental, Moses melakukan semua dengan energi dan kualitas yang sama baiknya.
Karya-karya Moses dikenal berani dan eksploratif, terutama dalam aspek teknis dan komposisi. Setiap visualnya menyiratkan kebebasan berekspresi yang lepas dari pakem visual konservatif, menghadirkan karakter yang otentik sekaligus dinamis.
“Lewat fotografi dan video, saya menemukan cara untuk tetap dekat dengan musik secara visual. Itu yang kemudian saya pilih jadi profesi, karena di situ saya bisa bercerita dengan cara saya sendiri, bukan sekadar bekerja.”
Dengan pengalaman lebih dari dua dekade dalam industri ini, Moses menjadi salah satu sosok yang tepat mengisi sesi “Echoforms: Story in Sound and Design” dalam Jakarta Music Conference 2025. Sebuah diskusi mendalam tentang kekuatan cerita di balik suara dan visual.
“Buat saya, tema ini menggambarkan bagaimana musik dan visual saling mendukung untuk menciptakan narasi yang utuh.”
Perjalanan Moses di dunia fotografi dimulai pada 2005, ketika ia menjadi fotografer sekaligus videografer bagi The Adams. Setelah sempat terhenti karena bekerja kantoran, pada 2017 ia kembali aktif di dunia visual dengan menjadi fotografer untuk Dipha Barus dan kolektif yang dibentuknya, Pon Your Tone. Tak lama berselang, Moses turut menggarap rubrik On Your Feed di Whiteboard Journal.
Pengalamannya mencakup dokumentasi sejumlah festival besar seperti Ornaments Festival, Synchronize Fest, dan Joyland Festival. Moses juga menangani materi visual untuk salah satu band indie pop paling diantisipasi saat ini, The Cottons — mempertegas perannya sebagai pengarsip visual penting dalam lanskap musik independen Indonesia.
Moses memandang ke depan bahwa semangat kolektif dalam kultur pop Indonesia dapat menjadi salah satu jawaban atas dinamika industri yang kian cepat — sekaligus cara untuk mempertahankan nilai-nilai humanisme di tengah gempuran algoritma dan tren digital.
“Tantangannya ada di menjaga kejujuran berkarya di tengah industri yang serba cepat. Karya harus selalu tumbuh dari rasa, bukan algoritma itu solusi. Selama semangat kolektif lebih besar dari kompetitif, masa depan industri musik Indonesia akan semakin seru.”