Echoforms: Story in Sound and Design
Saturday, Oct 11
19:00 - 19:45
Moderator: Alessandra Langit
Stage: Bicara Musik - Dome Senayan Park
This session explores how music and visual design intersect as powerful storytelling forms, shaping how audiences experience culture. As a Jakarta-based media project, GMK champions Indonesian graphic design and visual arts on the world stage. Highlighting local talent, sparking discourse, and setting new standards of quality. In this spirit, Echoforms opens a dialogue on how sound and visuals combine to inspire, empower, and redefine the creative landscape
About the Speakers

Moses Sihombing

Photographer

Moses Sihombing menunjukan konsistensi dan komitmen yang tinggi terhadap dunia fotografi dan video terkait industri musik. Kekuatannya tak terbatas pada teknis pendokumentasian semata, tetapi pada narasi dari tiap-tiap visual yang diciptakan. Tak peduli apakah itu proyek kolaborasi, foto komersial, portrait, artwork musik, festival besar, atau bermain di ranah foto eksperimental, Moses melakukan semua dengan energi dan kualitas yang sama baiknya.

 

Karya-karya Moses dikenal berani dan eksploratif, terutama dalam aspek teknis dan komposisi. Setiap visualnya menyiratkan kebebasan berekspresi yang lepas dari pakem visual konservatif, menghadirkan karakter yang otentik sekaligus dinamis.

 

“Lewat fotografi dan video, saya menemukan cara untuk tetap dekat dengan musik secara visual. Itu yang kemudian saya pilih jadi profesi, karena di situ saya bisa bercerita dengan cara saya sendiri, bukan sekadar bekerja.”

 

Dengan pengalaman lebih dari dua dekade dalam industri ini, Moses menjadi salah satu sosok yang tepat mengisi sesi “Echoforms: Story in Sound and Design” dalam Jakarta Music Conference 2025. Sebuah diskusi mendalam tentang kekuatan cerita di balik suara dan visual.

 

“Buat saya, tema ini menggambarkan bagaimana musik dan visual saling mendukung untuk menciptakan narasi yang utuh.”

 

Perjalanan Moses di dunia fotografi dimulai pada 2005, ketika ia menjadi fotografer sekaligus videografer bagi The Adams. Setelah sempat terhenti karena bekerja kantoran, pada 2017 ia kembali aktif di dunia visual dengan menjadi fotografer untuk Dipha Barus dan kolektif yang dibentuknya, Pon Your Tone. Tak lama berselang, Moses turut menggarap rubrik On Your Feed di Whiteboard Journal.

 

Pengalamannya mencakup dokumentasi sejumlah festival besar seperti Ornaments Festival, Synchronize Fest, dan Joyland Festival. Moses juga menangani materi visual untuk salah satu band indie pop paling diantisipasi saat ini, The Cottons — mempertegas perannya sebagai pengarsip visual penting dalam lanskap musik independen Indonesia.

 

Moses memandang ke depan bahwa semangat kolektif dalam kultur pop Indonesia dapat menjadi salah satu jawaban atas dinamika industri yang kian cepat — sekaligus cara untuk mempertahankan nilai-nilai humanisme di tengah gempuran algoritma dan tren digital.

 

“Tantangannya ada di menjaga kejujuran berkarya di tengah industri yang serba cepat. Karya harus selalu tumbuh dari rasa, bukan algoritma itu solusi. Selama semangat kolektif lebih besar dari kompetitif, masa depan industri musik Indonesia akan semakin seru.”

 

Djali

Designer/Illustrator

Ahmad Rizzali, atau yang lebih dikenal dengan Djali, adalah desainer grafis dan ilustrator yang kiprahnya kerap bersinggungan dengan dunia musik. Ia telah mencuri perhatian lewat karya-karya visualnya yang khas — mulai dari artwork single “Jimi Hendrikoes” milik Kelompok Penerbang Roket, hingga sampul album Dramaturgi dari Morfem. Bersama kolektif Pancaran Sinema, Djali juga terlibat dalam pengerjaan grafis video musik “Nina” dari .Feast, “Fun Kaya Fun” dari Efek Rumah Kaca, hingga visual live performance “Life in Bloom” milik Mocca.

 

Karya-karya Djali mudah dikenali lewat karakteristik visualnya yang klasik-komikal — garis tegas, warna kontras, dan karakter-karakter ekspresif yang seolah hidup di antara kanvas. Gayanya menyiratkan semangat kebebasan dan jiwa kontemporer, menjembatani antara nostalgia dan modernitas dalam satu tarikan visual.

 

“Dari perspektif desainer dan ilustrator, industri musik Indonesia sekarang sangat dinamis,” ujar Djali. “Peran visual semakin penting, karena musik hari ini tidak cuma soal suara, tapi juga soal bagaimana ia dikemas dan dirasakan secara visual — dari sampul album, video klip, tata panggung, hingga merchandise.”

 

Dalam Jakarta Music Conference 2025, Djali akan berbagi pengalamannya dalam sesi “The Visual Soundtrack: Shaping Music Through Art & Image.” Ia percaya bahwa visual selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari musik — bukan sekadar pelengkap, tapi representasi yang menghidupkan dan memantulkan jiwa dari bunyi itu sendiri.

 

“Saat ini, musik dan visual sudah tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling memperkuat untuk memberi pendengar pengalaman yang terasa utuh. Visual berfungsi sebagai ‘scoring’ yang memperluas makna lagu dan memberikan audiens pemahaman yang lebih baik tentang atmosfir spesifik dan karakteristik musisinya. Sebagai desainer dan ilustrator, saya percaya bahwa peran visual tidak hanya berfungsi sebagai bumbu pelengkap, tetapi juga sebagai medium yang dapat menerjemahkan emosi, nada, dan lirik ke dalam bentuk yang dapat dilihat dan dirasakan. Visual berfungsi sebagai penghubung yang membuat musik hidup lebih lama dan lebih dekat dengan audiensnya,” jelas Djali.



Dian Tamara

Film Director

Dian Tamara, melalui rumah produksi Pancaran Sinema yang dibangunnya sejak 2021, sedang hangat dibicarakan sebagai salah satu sutradara video musik Indonesia hari ini. Dalam tiga tahun terakhir saja, sidik jari Dian bersama rumah produksi Pancaran Sinema mudah ditemukan di beberapa video musik musisi dan band-band arus pinggir Tanah Air.

 

Sebut saja video musik “Rimpang” dan “Fun Kaya Fun” dari Efek Rumah Kaca, “YTH: NAIF” dari Diskoria, Isyana Sarasvati, Ardhito Pramono (feat. KawanNAIF), “Tapi” dari Perunggu, hingga video musik hits tahun 2024 milik .Feast, “Nina” yang ikonik dengan kisah ibu dan anak.

 

“Menjadi sutradara video musik merupakan medium belajarku untuk terjun ke industri film. Sejak dulu itu tujuanku. Walau kini aku lebih condong di area musik dan keduanya merupakan medium yang berbeda, namun keduanya saling menghidupi untuk memperkuat naratifnya,” ungkap Dian saat ditanya tentang keyakinan dirinya menjadi sutradara.

 

Yang terbaru, Dian baru saja merampungkan dan merilis “A Live Session by Mocca: Life in Bloom” yang diputar di seluruh bioskop CGV di Indonesia pada 29-31 Agustus dan 5-7 September silam. Di live session tersebut, Dian mencurahkan banyak aspek, terutama terkait teknis dan ragam alternatif format visual dalam menerjemahkan musik.

 

Di Jakarta Music Conference 2025, dengan topik “Echoforms: Story in Sound and Design”, Dian akan berbicara banyak hal tentang pemikirannya bagaimana musik, cerita, dan visual bisa terhubung. Terlebih, Dian menggaris-bawahi hadirnya gadget di era internet kini makin mempertegas pentingnya aspek visual dalam musik.

 

“Gadget yang kini telah menjadi kebutuhan hampir semua orang, menjadi jawaban kenapa visual merupakan aspek penting dalam membentuk kehadiran musik dalam berkomunikasi dan membangun citra terhadap audiensnya,” kata Dian. Menarik untuk lebih lanjut menyaksikan pemaparan Dian soal musik dna visual di Jakarta Music Conference 2025.

 

About the Moderator
Scroll to Top