Sal Priadi adalah wujud paling jujur dari kesenimanan hari ini. Ia menolak batas medium, meleburkan sekat antara musik, puisi, dan akting. Bagi Sal, ekspresi bukan soal bentuk, melainkan soal keberanian merasakan dan mengatakannya dengan jujur. Dalam setiap lirik, ia memuliakan perasaan — sekecil apa pun, seremeh apa pun — karena baginya, tak ada emosi yang sia-sia.
“Profesi ini menjadi wadah yang menampung kemampuan imajinasi saya dengan baik. Lewat berbagai bentuk karya yang dihasilkan dan seluruh proses di baliknya, menekuni profesi ini bukan hanya soal mencipta, tapi juga tentang belajar memaknai hidup dan terus bertumbuh sebagai manusia. I love my job (as much as i hate it).”
Kekuatan Sal sebagai seniman bertolak dari kemampuan menghadirkan sebuah karya yang dekat dengan pendengar. Sal tak mengambil jarak sama sekali, ia duduk di sebelah penonton, berbagi kebisingan yang sama, berbagi luka dan tangis. Pun ketika bicara cinta, Sal memilih jalan paling sederhana — tapi justru di situlah keajaibannya. Dengan gaya penulisan yang kadang absurd, ia membuat bahasa cinta terasa baru lagi. Dari kesederhanaan itu, lahirlah kekuatan yang autentik dan berdaya, menembus logika dingin algoritma.
“Gue melihat perkembangan algoritma, banyak gue rasa musisi sekali lagi karena perkembangan teknologinya, melihat algoritma sosial media terutama menjadi momok yang menyeramkan, karena kita harus berhadapan dengan itu untuk mempromosikan lagunya. Tapi hari ini gue rasa kita tidak bisa lagi untuk menentang perkembangan teknologi, sehingga harus lebih banyak kepekaan sekali lagi untuk mau belajar soal bagaimana mempromosikan karya kita dengan baik menggunakan teknologi.”
Sal akan berbagi pengalamannya dalam sesi “How Musicians Survive in the Era of Noise & Virality?” — tajuk yang terasa seperti cermin bagi seluruh pelaku industri. Sejak media sosial menjelma jadi arena baru validasi, lanskap musik tak pernah lagi sama.
“Sekarang kita nggak cuma hidup di industri musik, tapi di era tension economy, di mana semua orang berlomba merebut perhatian,” kata Sal. “Satu faktor terpenting dalam pengkaryaan adalah mempromosikannya dan itu selalu berhadapan dengan tools-tools seperti social media dan internet. Topik utama ketika kita sedang membuat karya sering tentang bagaimana dia bisa mendapatkan pendengar, menarik perhatian pendengar dengan seluas-luasnya. Gue pikir kita harus berhenti untuk menarik perhatian, kita harus mulai membangun karya yang berarti.”