How Musicians Survive in the Era of Noise & Virality
Sunday, Oct 12
19:15 - 20:15
Moderator: Sal Priadi
Stage: Bicara Musik - Dome Senayan Park
In a world where every scroll brings a new sound and trends fade in a heartbeat, how can musicians stay true to their art while staying visible? This session explore the realities of making music in the age of algorithms, short attention spans, and viral fame. Through candid conversations, humor, and insider stories, this session unpacks how artists can balance authenticity with popularity, sustain creative longevity, and build meaningful connections beyond the noise.
About the Speakers

Sal Priadi

Musician

Sal Priadi adalah wujud paling jujur dari kesenimanan hari ini. Ia menolak batas medium, meleburkan sekat antara musik, puisi, dan akting. Bagi Sal, ekspresi bukan soal bentuk, melainkan soal keberanian merasakan dan mengatakannya dengan jujur. Dalam setiap lirik, ia memuliakan perasaan — sekecil apa pun, seremeh apa pun — karena baginya, tak ada emosi yang sia-sia.

“Profesi ini menjadi wadah yang menampung kemampuan imajinasi saya dengan baik. Lewat berbagai bentuk karya yang dihasilkan dan seluruh proses di baliknya, menekuni profesi ini bukan hanya soal mencipta, tapi juga tentang belajar memaknai hidup dan terus bertumbuh sebagai manusia. I love my job (as much as i hate it).”

Kekuatan Sal sebagai seniman bertolak dari kemampuan menghadirkan sebuah karya yang dekat dengan pendengar. Sal tak mengambil jarak sama sekali, ia duduk di sebelah penonton, berbagi kebisingan yang sama, berbagi luka dan tangis. Pun ketika bicara cinta, Sal memilih jalan paling sederhana — tapi justru di situlah keajaibannya. Dengan gaya penulisan yang kadang absurd, ia membuat bahasa cinta terasa baru lagi. Dari kesederhanaan itu, lahirlah kekuatan yang autentik dan berdaya, menembus logika dingin algoritma.

“Gue melihat perkembangan algoritma, banyak gue rasa musisi sekali lagi karena perkembangan teknologinya, melihat algoritma sosial media terutama menjadi momok yang menyeramkan, karena kita harus berhadapan dengan itu untuk mempromosikan lagunya. Tapi hari ini gue rasa kita tidak bisa lagi untuk menentang perkembangan teknologi, sehingga harus lebih banyak kepekaan sekali lagi untuk mau belajar soal bagaimana mempromosikan karya kita dengan baik menggunakan teknologi.”

Sal akan berbagi pengalamannya dalam sesi “How Musicians Survive in the Era of Noise & Virality?” — tajuk yang terasa seperti cermin bagi seluruh pelaku industri. Sejak media sosial menjelma jadi arena baru validasi, lanskap musik tak pernah lagi sama.

“Sekarang kita nggak cuma hidup di industri musik, tapi di era tension economy, di mana semua orang berlomba merebut perhatian,” kata Sal. “Satu faktor terpenting dalam pengkaryaan adalah mempromosikannya dan itu selalu berhadapan dengan tools-tools seperti social media dan internet. Topik  utama ketika kita sedang membuat karya sering tentang bagaimana dia bisa mendapatkan pendengar, menarik perhatian pendengar dengan seluas-luasnya. Gue pikir kita harus berhenti untuk menarik perhatian, kita harus mulai membangun karya yang berarti.”

 

Haris Franky

Content Creator Music

Haris Franky Sianturi atau dikenal sebagai Haris Franky sebagai komentator musik nama yang tak asing di jagat media sosial. Merantau dari Medan ke Jakarta, ia memulai semuanya dari bekerja di Creative Agency. Catatan kariernya sebagai fotografer, videografer, podcaster, hingga content manager berujung kepada keputusan untuk dikenal sebagai content creator.

“Sederhananya, saya merasa punya kapasitas untuk bekerja atau berkarir sebagai content creator karena sebelumnya sempat bekerja di creative agency dan menjalankan peran yang cukup beragam di depan dan belakang layar. Oleh karena itu saya rasa punya kemampuan untuk melakukannya. Misinya mau melebarkan pengetahuan audiens atau netizen Indonesia terhadap musik-musik yang kurang mendapat panggung. Saya pribadi merasa teman-teman saya yang dari Medan, masih belum tau gitu kalau ada band-band sebagus quote, unquote yang sering kita lihat di festival atau sidestream,” kata Franky. 

Tahun ini, Franky mendapat kesempatan untuk kolaborasi bareng Vincent Rompies dan Soleh Solihun di sebuah program baru milik VINDES bernama Vixtape. Di antara dua abang-abangan ini, ia mewakili generasinya kelahiran 90-an selalu memberikan pandangan yang spontan dan lugas soal musik. 

Berbicara tentang tantangan, solusi, dan masa depan industri musik di Indonesia, Franky berpendapat bahwa regenerasi musisi atau band masih kurang merata dan masih berpusat di wilayah Jabodetabek, “Solusinya infrastruktur yang merata dan upaya dari band-band luar Jakarta untuk menampilkan dirinya lewat platform digital. Kalau masa depan musik Indonesia aku rasa bisa lebih cerah lagi kalau pemerintahnya ikut ambil peran.”

Di Jakarta Music Con 2025, Franky atas nama Vixtape siap mengisi sesi “How Musicians Survive in the Era of Noise & Virality”. Ia berpendapat bagaimana survive di era internet ini adalah dengan cara yang genuine dan stay true to your character. 

“Tapi PR lebih besarnya di balik itu, lo harus tau diri lo siapa, apa yang lo suka, apa yang lo gak suka. Lo intinya harus kenal banget diri lo sendiri, lo tau apa yang lo mau omongin. Dan lo eksekusi itu, terlepas dari apapun keterbatasan yang lo punya karena keterbatasan itu bisa jadi dan mungkin dilihat orang sebagai ciri khas. Intinya ciri khas, tau mau ngomong apa, jangan tunggu sampai siap karena kalau tunggu siap keburu orang yang eksekusi idenya,” tutup Franky. 



Soleh Solihun

Journalist

Soleh Solihun adalah ikon jurnalisme musik. Caranya dalam menyampaikan gagasan dan pertanyaan dikenal bernas, lugas, dan tegas. Sesekali terselip unsur humor dan “nakal.” Ini menjadikan Soleh tiada duanya. Kini, kecintaan Soleh terhadap media dan musik bertransformasi menjadi lebih kontemporer dengan membesut program VixTape. Sekaligus membuatnya menjadi salah satu konten kreator bidang musik yang serbabisa. Dari teks, siniar, sampai konten-konten trvia. Semua dikuasainya.

 

“Sebagai jurnalis, ya maunya menghadirkan informasi yang bermanfaat buat banyak orang,” kata Soleh.

 

Soleh juga membuktikan bahwa musik adalah bidang yang tak bisa dipisahkan dari industri entertainment lain. Selepas menjadi jurnalis, Soleh mengeksplorasi teritori lain. Mulai dari komedi tunggal, sampai penyutradaraan film. Menariknya, Soleh selalu berhasil memiliki standar kualitas yang tinggi dalam berbagai bidang yang ditekuninya.

 

Karier mentereng Soleh yang pernah menjadi jurnalis untuk Trax Magazine, Playboy Indonesia, Rolling Stone Indonesia, dan didukung dengan latar belakang studi Jurnalistik Universitas Padjajaran, membuatnya sahih disebut pakar dalam bidang media dan hal-hal terkait musik. Sebuah kepakaran yang penting di era yang serba instan dan hiper realitas ini.

 

“Industri musik hari ini sudah jauh berkembang dibandingkan saya pertama kali jadi jurnalis pada 2004. Band-band yang diterima banyak orang, sekarang genre musiknya sudah sangat beragam. Tantangannya bagaimana caranya band-band itu bisa ada regenerasi pendengar. Dan masih belum selesai adalah masalah distribusi royalti. Solusinya saya juga tak tahu. ruwet sekali ini,” celoteh Soleh.

 

Pengalaman Soleh yang luas dan mendalam akan memberikan perspektif unik dalam sesi How Musician Survive in the Era of Noise & Virality di Jakarta Music Conference 2025. 

Vincent Rompies

Musician

Vincent Rompies lebih dulu dikenal publik sebagai pemain bas dari band Clubeighties. Lewat Clubeighties, kiprah Vincent sebagai penampil di atas panggung sukses menelurkan lima album penuh. Meski tak lagi di Clubeighties, belakangan Vincent terlihat kembali aktif bermusik dengan menjadi pemain bas di Goodnight Electric dan Andre Taulany & Friends.

 

Di luar panggung, publik tentu lebih mengenal Vincent sebagai MC kondang nan kocak bertandem dengan rekannya yang juga sesama eks personel Clubeighties, Desta dalam duo Vincent Desta. Keduanya mendulang pamor setelah membawakan program televisi MTV Bujang dan makin bersinar setelah sepuluh tahun mengasuh Tonight Show.

 

Belakangan, kiprah Vincent di industri musik Indonesia memasuki babak baru saat dirinya mengasuh sebuah program musik bernama VixTape. Bersama program yang ditayangkan di kanal youtube VINDES ini publik bisa melihat sisi lan Vincent sebagai penikmat musik yang selalu melihat musik dari sudut pandang unik, dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.

 

“(Dengan VixTape semoga bisa) menjadi platform teman-teman pelaku dan penikmat untuk bisa mengenalkan karya-karyanya,” ujar Vincent singkat. 

 

Ucapan Vincent bukan isapan jempol belaka. Di tiap episode baru VixTape, penonton selalu disuguhkan rekomendasi musik-musik baru dari para pembawa acara yang tentunya sudah dikurasi oleh tim editorial. 

 

“Mantab abis, canggih-canggih secara musikalitas,” ujarnya lagi merespon band-band di kancah musik Indonesia akhir-akhir ini. Sukses Lancar Rejeki misalnya, trio remaja punk rock asal Bekasi ini dalam beberapa episode VixTape terakhir, namanya kerap disebut dan dibahas sebagai bagian rekomendasi dari musik baru di VixTape dengan keunikan yang mencuri perhatian.

 

Dari sini optimis rasanya melihat Vincent berbagi panggung di sesi “How Musicians Survive In The Era of Noise & Virality” di Jakarta Music Conference tahun ini. Setidaknya melalui VixTape, Vincent adalah sosok yang relevan membicarakan bagaimana musisi-musisi baru bertahan di era internet seperti saat ini.

 

“Lebih enak kalo kita ketemu dan diobrolkan secara diskusi di sana (Jakarta Music Conference 2025),” ungkap Vincent antusias membaha tema bagaimana musisi bertagan di era noise & virality.



About the Moderator

Sal Priadi

Musician

Sal Priadi adalah wujud paling jujur dari kesenimanan hari ini. Ia menolak batas medium, meleburkan sekat antara musik, puisi, dan akting. Bagi Sal, ekspresi bukan soal bentuk, melainkan soal keberanian merasakan dan mengatakannya dengan jujur. Dalam setiap lirik, ia memuliakan perasaan — sekecil apa pun, seremeh apa pun — karena baginya, tak ada emosi yang sia-sia.

“Profesi ini menjadi wadah yang menampung kemampuan imajinasi saya dengan baik. Lewat berbagai bentuk karya yang dihasilkan dan seluruh proses di baliknya, menekuni profesi ini bukan hanya soal mencipta, tapi juga tentang belajar memaknai hidup dan terus bertumbuh sebagai manusia. I love my job (as much as i hate it).”

Kekuatan Sal sebagai seniman bertolak dari kemampuan menghadirkan sebuah karya yang dekat dengan pendengar. Sal tak mengambil jarak sama sekali, ia duduk di sebelah penonton, berbagi kebisingan yang sama, berbagi luka dan tangis. Pun ketika bicara cinta, Sal memilih jalan paling sederhana — tapi justru di situlah keajaibannya. Dengan gaya penulisan yang kadang absurd, ia membuat bahasa cinta terasa baru lagi. Dari kesederhanaan itu, lahirlah kekuatan yang autentik dan berdaya, menembus logika dingin algoritma.

“Gue melihat perkembangan algoritma, banyak gue rasa musisi sekali lagi karena perkembangan teknologinya, melihat algoritma sosial media terutama menjadi momok yang menyeramkan, karena kita harus berhadapan dengan itu untuk mempromosikan lagunya. Tapi hari ini gue rasa kita tidak bisa lagi untuk menentang perkembangan teknologi, sehingga harus lebih banyak kepekaan sekali lagi untuk mau belajar soal bagaimana mempromosikan karya kita dengan baik menggunakan teknologi.”

Sal akan berbagi pengalamannya dalam sesi “How Musicians Survive in the Era of Noise & Virality?” — tajuk yang terasa seperti cermin bagi seluruh pelaku industri. Sejak media sosial menjelma jadi arena baru validasi, lanskap musik tak pernah lagi sama.

“Sekarang kita nggak cuma hidup di industri musik, tapi di era tension economy, di mana semua orang berlomba merebut perhatian,” kata Sal. “Satu faktor terpenting dalam pengkaryaan adalah mempromosikannya dan itu selalu berhadapan dengan tools-tools seperti social media dan internet. Topik  utama ketika kita sedang membuat karya sering tentang bagaimana dia bisa mendapatkan pendengar, menarik perhatian pendengar dengan seluas-luasnya. Gue pikir kita harus berhenti untuk menarik perhatian, kita harus mulai membangun karya yang berarti.”

 

Scroll to Top